Niccolo
Machiavelli lahir pada tahun 3 Mei 1469 di Florence, Italia. Ia adalah seorang
filsuf politik di Italia. Ayahnya seorang ahli hukum, bernama Bernando. Setelah
keluarga Medici diusir dari Florence dan Savonarola jatuh dari puncak
kekuasaan, Machiavelli menjadi orang kepercayaan Piero Soderini, pemimpin
pemerintahan Republik Florence, sampai kejatuhan Republik atas serbuan Spanyol[1].
Ketika usia 29 tahun Machiavelli memperoleh kedudukan tinggi di pemerintahan
sipil Florence[2]. Setelah
itu, dia mengabdi kepada Republik Florentine, baik sebagai konselor maupun
sebagai sekretaris Dewan Charge of
Warfare yang disebut sebagai Ten of
Liberty and Peace dan terlibat dalam berbagai misi diplomatik atas namanya,
melakukan perjalanan ke Prancis, Jerman, dan di dalam negeri Italia. [3]
Karya yang paling masyhur adalah The Prince, (Sang Pangeran) ditulis
1513, dan The Discourses upon the First
Ten Books of Titus Livius (Pembicaraan terhadap sepuluh buku pertama Titus
Livius). Karya yang lainnya antara lain The
Art of War (Seni Berperang), A
History of Florence (Sejarah Florence) dan La Mandragola (suatu drama yang bagus, kadang-kadang masih
dipanggungkan orang). Karya pokok yang terkenal adalah The Prince (Sang Pangeran), mungkin yang paling brilian yang pernah
ditulisnya dan paling mudah dibaca dari semua tulisan filosofis. Machiavelli
meninggal dunia pada 1527 pada umur 58 tahun. [4]
Terdapat tiga pandangan berbeda
terhadap karya-karya Machiavelli. Pandangan pertama, menyatakan bahwa Machiavelli
adalah pengajar kejahatan atau paling tidak mengajarkan immoralism dan
amoralism. Pandangan ini dikemukakan oleh
Leo Strauss (1957) karena melihat ajaran Machiavelli menghindar dari nilai
keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan
kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan. Pandangan kedua, merupakan
aliran yang lebih moderat dipelopori oleh Benedetto Croce (1925) yang melihat
Machiavelli sekadar seorang realis atau pragmatis yang melihat tidak digunakannya
etika dalam politik. Padangan ketiga yang dipelopori oleh Ernst Cassirer
(1946), yang memahami pemikiran Machiavelli sebagai sesuatu yang ilmiah dan
cara berpikir seorang scientist. Dapat disebutkan sebagai “Galileo of politics”
dalam membedakan antara fakta politik dan nilai moral (between the facts of
political life and the values of moral judgment).
Machiavelli
mencoba untuk mengambil hati Medici, tetapi usaha itu gagal. Kemudian
Machiavelli terpaksa menulis dan menghasilkan karya-karya filsafat. Dia hidup
menyendiri sampai tahun kematiannya yang bersamaan dengan diserangnya Roma oleh
pasukan Charles V sehingga disebut sebagai tahun kematian Renaisans.[5] Machiavelli menunjukkan bahwa seorang
pangeran baru harus menciptakan aturan.[6]
Menurut
Machiavelli dalam The Prince,
satu-satunya persoalan adalah menaklukkannya, karena ketika diserang,
kerajaan-kerajaan tersebut dipertahankan oleh adat-istiadat religius kuno, yang
menjaga raja-rajanya tetap berkuasa tanpa memperdulikan bagaimana perilaku
mereka. Raja-raja ini membutuhkan tentara karena mereka disangga oleh
faktor-faktor yang tinggi dan tidak bisa dijangkau akal manusia. Mereka
“dimuliakan dan dijaga oleh Tuhan” dan “karya orang-orang yang congkak dan
bodohlah yang membahasnya.”[7]
Dalam buku Discourses on Livy dan The Prince,
Machiavelli menuliskan inovasi yang berbeda yakni memisahkan teori politik dan
etika. Hal itu bertolakbelakang dengan tradisi barat yang mempelajari teori
politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran
Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Dalam
pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil
dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia
di lapangan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato,
yang berasal dari istilah latin status, yang menunjuk pada ada dan berjalannya
kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah dominium yang
lebih menunjuk pada kekuasaan privat.
Filsafat
politik Machiavelli bersifat ilmiah dan empiris, yang didasarkan pada
pengalaman kehidupannya sendiri, dan berbicara tentang cara untuk meraih tujuan
tertentu, terlepas itu baik atau buruk. Machiavelli dikenal sebagai orang
dengan kejujuran intelektualnya.[8]
Pembahasan
tentang kekuasaan Paus dalam Discourses
lebih panjang dan jujur. Sehingga Machiavelli memulai dan menempatkan
orang-orang terkemuka ke dalam sebuah
hierarki etis. Menurutnya yang terbaik adalah para pendiri agama, para pendiri
monarki, atau republik dan para sastrawan. Machiavelli berpendapat bahwa agama
harus ditempatkan secara mulia di dalam negara sebagai sebuah perekat sosial:
orang Romawi sebenarnya berpura-pura percaya pada ilmu nujum, dan menghukum
mereka yang tidak mempercayainya. Kritik Machiavelli terhadap gereja ada dua
yakni bahwa dengan perilaku jahatnya gereja telah menghancurkan kepercayaan
religius dan bahwa kekuasaan temporer para paus, dengan kebijakannya yang
mempengaruhi gereja, menghambat unifikasi Italia.[9]
Kritik
Machiavelli diungkapkan dengan sepenuh tenaga. “Kita orang-orang Italia telah
menyebabkan gereja Roma dan para pendetanya menjadi tidak religius dan jahat,
tetapi berhutang banyak kepadanya, dan hal yang akan menimbulkan keruntuhan
kita adalah bahwa gereja telah dan tetap saja memecah belah negara kita.”[10]
Ungkapan ini telah membangkitkan masyarakat Eropa untuk bangkit dari Zaman
Kegelapan (Dark Eges). Dengan
demikian, semakin memperkuat masa Renaisans yang tidak dikekang lagi oleh
pengaruh gereja. Rakyat bisa mengembangkan ketrampilannya sesuai kemampuan yang
dimiliki. Seni semakin bisa dikembangkan dan intelektual masyarakat semakin
kembali bisa digunakan, masyarakat tidak terbayang-bayangi lagi oleh kekuasaan
gereja yang dominan.
Kekaguman Machiavelli
terhadap Caesar Borgia hanya dalam ketrampilannya, bukan tujuannya. Kekaguman
atas ketrampilan dan tindakan-tindakan yang mengangkat kemasyurannya, luar
biasa pada zaman renaisans. The Prince bertujuan menarik perhatian Medici
dengan penuh perasaan agar membebaskan Italia dari “orang-orang barbar” (yakni
Prancis dan Spanyol), yang kekuasannya “menyengat”. Raja harus menjaga imannya
ketika memang diperlukan, tetapi bukan sebaliknya. Seorang raja pada suatu saat
harus mengingkari imannya. [11]
Machiavelli
tidak pernah meletakkan pendapat politik apapun di atas dasar-dasar Kristen
atau bibikal. Kekuasaan Machiavelli diperuntukkan bagi mereka yang memiliki
ketrampilan untuk merebutnya dalam sebuah kompetisi bebas. Ada konsep-konsep
politik yang baik, tiga diantaranya yakni kemerdekaan nasional, keamanan, dan
sebuah konstitusi yang tertata dengan baik. Konstitusi terbaik adalah
konstitusi yang membagi hak-hak hukum secara adil di antara raja, bangsawan dan
rakyat sesuai dengan kekuasaan riilnya, karena dengan konstitusi ini revolusi
akan sulit dilakukan dan stabilitas bisa dilaksanakan jika rakyat diberi
kekuasaan yang lebih.
Machiavelli
adalah salah seorang yang berpendapat bahwa orang-orang beradap merupakan
orang-orang egois yang jahat. Menurut Machiavelli, akan lebih mudah mengajak
orang-orang yang tinggal di gunung daripada orang-orang kota besar, karena yang
terakhir ini jahat. Gereja renaisans mengejutkan setiap orang, tetapi hanya
orang-orang di utara Alps yang terpengaruh sehingga melakukan Reformasi.
Machiavelli
mengakui bahwa hukum yang baik dan tentara yang baik merupakan dasar bagi suatu
tatatan sistem politik yang baik. Namun karena paksaan dapat menciptakan
legalitas, maka dia menitikberatkan perhatian pada paksaan. hukum secara
keseluruhan bersandar pada ancaman kekuatan yang memaksa seperti halnya
kekerasan yang secara efektif dapat mengontrol legalitas.
Pengaruh
Machiavelli terhadap Renaisans begitu besar. Di antaranya Machiavelli yang
menentang gereja terlihat dalam buku the Discourse yang menyatakan secara jelas
bahwa Kristianitas konvensional melemahkan manusia dari kekuatan yang
diperlukan untuk menjadi masyarakat sipil yang aktif. Pada saat sebelum
renaisance, gereja mendominasi segala aspek kehidupan di Eropa. Ilmu
pengetahuan sangat dibatasi sehingga masyarakat saat itu tidak dapat berkembang
ke arah yang lebih baik. Mereka terpengaruh oleh kegiatan keagamaan terutama
pengaruh gereja.
Penulisan
karya filsafat Machiavelli harusnya bisa diapresiasikan. Banyak fitnah yang
melekat pada Machiavelli yang dilatarbelakangi oleh kemarahan orang-orang
hipokrit yang benci untuk berkata jujur tentang perbuatan jahat yang telah
dilakukannya[12].
Machiavelli menuliskan dengan apa adanya dan yang terjadi pada jamannya.
Kejujuran intelektual tentang ketidakjujuran politik semacam ini hampir tidak dapat ditemukan
ditempat lain, kecuali mungkin di Yunani di antara orang-orang yang berhutang
pendidikan teoritisnya pada para sofis, di Yunani klasik dan Italia Renaisans merupakan
wujud politik dari jenius individual. Karya-karya yang ditulis dengan apa
adanya ini akan memberi pengaruh pada masa Renaisans. Kejujuran ini mungkin
akan memberi dampak positif kepada beberapa pihak, misalnya rakyatnya. Rakyat
dapat melihat perlakuan penguasa yang keras dan selalu terdapat ancaman. Selain
itu juga akan rakyat mengetahui raja-rajanya yang melakukan tindak kejahatan.
Pemikiran-pemikiran
Machiavelli banyak menyebabkan pro dan kontra pada masyarakatnya sehingga
memberi dampak kehidupan jamannya. Bagi yang setuju, mereka akan selalu
mendukung pemikiran Machiavelli, sedangkan yang tidak setuju akan menolak
segala pemikiran Machiavelli yang dianggap terlalu kejam dan egois. Tetapi ada
sisi negatif dari kepemimpinan Machiavelli, yakni sering disalahgunakan
kekuasaaannya. Ia menjadi sumber bagi aksi-aksi
politik yang keji dan tidak bermoral. Banyak petualang revolusioner dan diktator
mendapatkan formula kesadaran dari Machiavelli mengenai cara menyikapi apa yang
mereka anggap sebagai insting. Dengan menceraikan etika dari politik, ia secara
teoritis ikut melempangkan jalan bagi negara absolut dan totalitarian yang sama
sekali mengabaikan hak asasi manusia.
Sedangkan
dari segi positifnya, Niccolo mengajarkan
seorang penguasa untuk menjaga dan membuat rakyat setia. Tetapi karena
Machiavelli terlalu terbuka dalam menyampaikan pemikirannya, beliau terkesan
terlalu berambisi untuk menguasai negara dan mengabaikan rakyatnya. Sebenarnya
menurut ahli yang telah mempelajarinya, Machiavelli tidak terlalu salah dalam
memberikan teori, Machiavelli menjabarkan keadaan yang apa adanya. Dan terkadang memang seseorang harus sesekali berbuat
kejam untuk membuat orang yang diperintahnya segan dan patuh.
Daftar
Pustaka
Brown,
Alison, 2009, Sejarah Renaisans Eropa.
Bantul: Kreasi Wacana
Russel,
Berdtrand,2002, Sejarah Filsafat Barat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dr. Nina H.
Lubis,2003, Historiografi Barat.,Bandung:
Cv Satya Historika
Djaja,
Wahjudi, 2012, Sejarah Eropa; Dari Eropa
Kuno Hingga Eropa Modern, Yogyakarta: Ombak
http://elsykibum.blogspot.com/2013/04/renaissance-dan-reformasi-pemikiran.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Niccol%C3%B2_Machiavelli
[1] Bertrand
Russel, Sejarah Filsafat Barat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
hlm. 663
[2] Wahyudi Djaja, Sejarah Eropa dari Eropa Kuno Hingga Eropa Modern, (Yogyakarta:
Ombak, 2012), hlm. 84
[3] Alison Brown, Sejarah Renaisans Eropa, (Bantul: Kreasi Wacana, 2009), hlm. 53
[4] Wahyudi Djaja, Sejarah Eropa dari Eropa Kuno Hingga Eropa Modern, (Yogyakarta:
Ombak, 2012), hlm. 85
[5] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 663
[6] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 664
[8] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 662
[9] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 665
[11] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 666-667
0 comments:
Post a Comment